Sebuah Janji
Oleh: Rai Inamas Leoni
“Sahabat selalu ada disaat
kita membutuhkannya, menemani kita disaat kita kesepian, ikut
tersenyum disaat kita bahagia, bahkan rela mengalah padahal hati
kecilnya menangis…”
***
Bel
istirahat akan berakhir berapa menit lagi. Wina harus segera membawa
buku tugas teman-temannya ke ruang guru sebelum bel berbunyi. Jabatan
wakil ketua kelas membuatnya sibuk seperti ini. Gubrak…. Buku-buku yang
dibawa Wina jatuh semua. Orang yang menabrak entah lari kemana.
Jangankan menolongnya, meminta maaf pun tidak.
“Sial! Lari nggak pakek mata apa ya...” rutuk Wina. Dengan wajah masam
ia mulai jongkok untuk merapikan buku-buku yang terjatuh. Belum selesai
Wina merapikan terdengar langkah kaki yang datang menghampirinya.
“Kasian banget. Bukunya jatuh semua ya?” cemoh seorang cowok dengan
senyum sinis. Sejenak Wina berhenti merapikan buku-buku, ia mencoba
melihat orang yang berani mencemohnya. Ternyata dia lagi. Cowok
berpostur tinggi dengan rambut yang selalu berantakan. Sumpah! Wina
benci banget sama cowok ini. Seumur hidup Wina nggak bakal bersikap baik
sama cowok yang ada di depannya ini. Lalu Wina mulai melanjutkan
merapikan buku tanpa menjawab pertanyaan cowok tersebut.
Cowok tinggi itu sepintas mengernyitkan alisnya. Dan kembali ia
tercenung karena cewek di depannya tidak menanggapi. Biasanya kalau Wina
terpancing dengan omongannya, perang mulut pun akan terjadi dan takkan
selesai sebelum seseorang datang melerai.
Teeeett… Bel tanda berakhirnya jam istirahat terdengar nyaring. “Maksud
hati pengen bantu temen gue yang jelek ini. Tapi apa daya udah keburu
bel. Jadi sori nggak bisa bantu.” ucap cowok tersebut sambil menekan
kata jelek di pertengahan kalimat.
Cowok tersebut masih menunggu reaksi cewek yang ada di depannya. Tapi
yang ditunggu tidak membalas dengan cemohan atau pun ejekan. “Lo
berubah.” gumam cowok tersebut lalu berbalik bersiap masuk ke kelasnya.
Begitu cowok itu membalikkan badannya, Wina yang sudah selesai
membereskankan buku mulai memasang ancang-ancang. Dengan semangat 45
Wina mulai mengayunkan kaki kanannya kearah kaki kiri cowok tersebut
dengan keras.
“Adooooww” pekik cowok tersebut sambil menggerang kesakitan.
“Makan tuh sakit!!” ejek Wina sambil berlari membawa buku-buku yang tadi
sempat berserakan. Bisa dibayangkan gimana sakitnya tuh kaki. Secara
Wina pakek kekuatan yang super duper keras. Senyum kemenangan menghiasi
di wajah cewek tinggi kurus tersebut.
***
“Wina….”
Wina menoleh untuk melihat siapa yang memanggilnya. Ternyata dari
kejauhan Amel teman baiknya sejak SMP sedang berlari kearahnya. Dengan
santai Wina membalikkan badannya berjalan mencari motor matic
kesayangannya. Ia sendiri lupa dimana menaruh motornya. Wina emang
paling payah sama yang namanya mengingat sesuatu. Masih
celingak-celinguk mencari motor, Amel malah menjitak kepalanya dari
belakang.
“Woe non, budeg ya? Nggak denger teriakan gue. Temen macem apaan yang
nggak nyaut sapaan temennya sendiri.” ucap Amel dengan bibir monyong.
Ciri khas cewek putih tersebut kalo lagi ngambek.
“Sori deh Mel. Gue lagi bad mood, pengen cepet pulang.”
“Bad mood? Jelas-jelas lo tadi bikin gempar satu kelas. Udah nendang
kaki cowok ampe tuh cowok permisi pulang, nggak minta maaf lagi.” jelas
Amel panjang lebar.
“Hah? Sampe segitunya? Kan gue cuma nendang kakinya, masak segitu
parahnya?” Wina benar-benar nggak nyangka. Masa sih keras banget? Tuh
cowok ternyata bener-bener lembek, pikirnya dalam hati.
“Nendang sih nendang tapi lo pakek tendangan super duper. Kasian Alex lho.”
“Enak aja. Orang dia yang mulai duluan.” bantah Wina membela diri.
Sejenak Amel terdiam, lalu berlahan bibirnya tersenyum tipis. “Kenapa
sih kalian berdua selalu berantem? Masalahnya masih yang itu? Itu kan
SMP. Dulu banget. ” ujar Amel polos, tanpa bermaksud mengingatkan
kejadian yang lalu. “Lagi pula gue udah bisa nerima kalo Alex nggak suka
sama gue.”
“Tau ah gelap!”
***
Bel pulang berbunyi nyaring bertanda jam pelajaran telah usai. Cuaca
yang sedemikian panas tak menyurutkan niat para siswa SMA Harapan untuk
bergegas pulang ke rumah. Wina sendiri sudah membereskan buku-bukunya.
Sedangkan Amel masih berkutat pada buku catatanya lalu sesekali menoleh
ke papan tulis.
“Makanya kalo nulis jangan kayak kura-kura.” Dengan gemas Wina menjitak
kepala Amel. “Duluan ya, Mel. Disuruh nyokap pulang cepet nih!” Amel
hanya mendengus lalu kembali sibuk dengan catatanya.
Saat Wina membuka pintu kelas, seseorang ternyata juga membuka pintu
kelasnya dari luar. “Eh, sori..” ucap Wina kikuk. Tapi begitu sadar
siapa orang yang ada di depannya, Wina langsung ngasi tampang jutek
kepada orang itu. “Ngapaen lo kesini? Masih sakit kakinya? Apa cuma
dilebih-lebihin biar kemaren pulang cepet? Hah? Jadi cowok kok banci
baget!!!”
Jujur Alex udah bosen kayak gini terus sama Wina. Dia pengen hubungannya
dengan Wina bisa kembali seperti dulu. “Nggak usah cari gara-gara deh.
Gue cuma mau cari Amel.” ucap Alex dingin sambil celingak celinguk
mencari Amel. “Hey Mel!” ucap Alex riang begitu orang yang dicarinya
nongol.
“Hey juga. Jadi nih sekarang?” Amel sejenak melirik Wina. Lalu
dilihatnya Alex mengangguk bertanda mengiyakan. “Win, kita duluan ya,”
ujar Amel singkat.
Wina hanya benggong lalu dengan cepat mengangguk. Dipandangi Amel dan
Alex yang kian jauh. Entah kenapa, perasaanya jadi aneh setiap melihat
mereka bersama. Seperti ada yang sakit di suatu organ tubuhnya. Biasanya
Alex selalu mencari masalah dengannya. Namun kini berbeda. Alex tidak
menggodanya dengan cemohan atau ejekan khasnya. Alex juga tidak
menatapnya saat ia bicara. Seperti ada yang hilang. Seperti ada yang
pergi dari dirinya.
***
Byuuurr.. Fanta rasa stowberry menggalir deras dari rambut Wina hingga
menetes ke kemeja putihnya. Wina nggak bisa melawan. Ia kini ada di WC
perempuan. Apalagi ini jam terakhir. Nggak ada yang akan bisa
menolongnya sampai bel pulang berbunyi.
“Maksud lo apa?” bentak Wina menantang. Ia nggak diterima di guyur kayak gini.
“Belum kapok di guyur kayak gini?” balas cewek tersebut sambil menjambak
rambut Wina. “Tha, mana fanta jeruk yang tadi?” ucap cewek itu lagi,
tangan kanannya masih menjambak rambut Wina. Thata langsung memberi satu
botol fanta jeruk yang sudah terbuka.
“Lo mau gue siram lagi?” tanya cewek itu lagi.
Halo??!! Nggak usah ditanya pun, orang bego juga tau. Mana ada orang
yang secara sukarela mau berbasah ria dengan fanta stroberry atau pun
jeruk? Teriak Wina dalam hati. Ia tau kalau cewek di depannya ini
bernama Linda. Linda terkenal sesaentro sekolah karena keganasannya
dalam hal melabrak orang. Yeah, dari pada ngelawan terus sekarat masuk
rumah sakit, mending Wina diem aja. Ia juga tau kalo Linda satu kelas
dengan Alex. Wait, wait.. Alex??? Jangan-jangan dia biang keladinya.
Awas lo Lex, sampe gue tau lo biang keroknya. Gue bakal ngamuk entar di
kelas lo!
“Gue rasa, gue nggak ada masalah ama lo.” teriak Wina sambil mendorong
Linda dengan sadisnya. Wina benar-benar nggak tahan sama perlakuan
mereka. Bodo amat gue masuk rumah sakit. Yang jelas ni nenek lampir
perlu dikasi pelajaran.
Kedua teman Linda, Thata dan Mayang dengan sigap mencoba menahan Wina.
Tapi Wina malah memberontak. “Buruan Lin, ntar kita ketahuan.” kata
Mayang si cewek sawo mateng.
Selang beberapa detik, Linda kembali mengguyur Wina dengan fanta jeruk.
“Jauhin Alex. Gue tau lo berdua temenan dari SMP! Dulu lo pernah nolak
Alex. Tapi kenapa lo sekarang nggak mau ngelepas Alex?!!”
“Maksud lo?” ledek Wina sinis. “Gue nggak kenal kalian semua. Asal lo
tau gue nggak ada apa-apa ama Alex. Lo nggak liat kerjaan gue ama tuh
cowok sinting cuma berantem?”
Plaakk.. Tamparan mulus mendarat di pipi Wina. “Tapi lo seneng kan?”
teriak Linda tepat disebelah kuping Wina. Kesabaran Wina akhirnya sampai
di level terbawah.
Buuugg! Tonjokan Wina mengenai tepat di hidung Linda. Linda yang marah
makin meledak. Perang dunia pun tak terelakan. Tiga banding satu. Jelas
Wina kalah. Tak perlu lama, Wina sudah jatuh terduduk lemas. Rambutnya
sudah basah dan sakit karena dijambak, pjpinya sakit kena tamparan.
Kepalanya terasa pening.
“Beraninya cuma keroyokan!” bentak seorang cowok dengan tegas. Serempak
trio geng labrak menoleh untuk melihat orang itu, Wina juga ingin, tapi
tertutup oleh Linda. Dari suaranya Wina sudah tau. Tapi Ia nggak tau
bener apa salah.
“Pergi lo semua. Sebelum gue laporin.” ujar cowok itu singkat.
Samar-samar Wina melihat geng labrak pergi dengan buru-buru. Lalu cowok
tadi menghampiri Wina dan membantunya untuk berdiri. “Lo nggak apa-apa
kan, Win?”
“Nggak apa-apa dari hongkong!?”
***
Hujan rintik-rintik membasahi bumi. Wina dan Alex berada di ruang UKS.
Wina membaringkan diri tempat tidur yang tersedia di UKS. Alex memegangi
sapu tangan dingin yang diletakkan di sekitar pipi Wina. Wina lemas
luar biasa. Kalau dia masih punya tenaga, dia nggak bakalan mau tangan
Alex nyentuh pipinya sendiri. Tapi karena terpaksa. Mau gimana lagi.
“Ntar lo pulang gimana?” tanya Alex polos.
“Nggak gimana-mana. Pulang ya pulang.” jawab Wina jutek. Rasanya Wina
makin benci sama yang namanya Alex. Gara-gara Alex dirinya dilabrak
hidup-hidup. Tapi kalau Alex nggak datang. Mungkin dia bakal pingsan
duluan sebelum ditemukan.
“Tadi itu cewek lo ya?” ucap Wina dengan wajah jengkel.
“Nggak.”
“Trus kok dia malah ngelabrak gue? Isi nyuruh jauhin lo segala. Emang
dia siapa? “ rutuk Wina kesal seribu kesal. Ups! Kok gue ngomong kayak
gue nggak mau jauh-jauh ama Alex. Aduuuhh…
Alex sejenak tersenyum. “Dia tuh cewek yang gue tolak. Jadi dia tau
semuanya tentang gue dan termasuk tentang lo” ucap Alex sambil menunjuk
Wina.
Wina diam. Dia nggak tau harus ngapain setelah Alex menunjuknya. Padahal
cuma nunjuk. “Ntar bisa pulang sendiri kan?” tanya Alex.
“Bisalah. Emang lo mau nganter gue pulang?”
“Emang lo kira gue udah lupa sama rumah lo? Jangan kira lo nolak gue
terus gue depresi terus lupaen segala sesuatu tentang diri lo. Gue masih
paham bener tentang diri lo. Malah perasaan gue masi sama kayak dulu.”
jelas Alex sejelas-selasnya. Alex pikir sekarang udah saatnya ngungkapin
unek-uneknya.
“Lo ngomong kayak gitu lagi, gue tonjok jidat lo!” ancam Wina. Nih orang
emang sinting. Gue baru kena musibah yang bikin kepala puyeng, malah
dikasi obrolan yang makin puyeng.
“Perasaan gue masih kayak dulu, belum berubah sedikit pun. Asal lo tau,
gue selalu cari gara-gara ama lo itu ada maksudnya. Gue nggak pengen
kita musuhan, diem-dieman, atau apalah. Pas lo nolak gue, gue nggak
terima. Tapi seiring berjalannya waktu, kita dapet sekolah yang sama.
Gue coba buat nerima. Tapi nggak tau kenapa lo malah diemin gue.
Akhirnya gue kesel, dan tanpa sadar gue malah ngajakin lo berantem.”
Sejenak Alex menanrik nafas. “Lo mau nggak jadi pacar gue? Apapun
jawabannya gue terima.”
Hening sejenak diantara mereka berdua. “Kayaknya gue pulang duluan deh.”
Ucap Wina sambil buru-buru mengambil tasnya. Inilah kebiasaan Wina,
selalu mengelak selalu menghindar pada realita. Ia bener-bener nggak tau
harus ngapaen. Dulu ia nolak Alex karena Amel juga suka Alex. Tapi
sekarang?
“Besok gue udah nggak sekolah disini. Gue pindah sekolah.” Alex berbicara tepat saat Wina sudah berada di ambang pintu UKS.
Wina diam tak sanggup berkata-kata. Dilangkahkan kakinya pergi meninggalkan UKS. Meninggalkan Alex yang termenung sendiri.
***
Kelas masih sepi. Hanya ada beberapa murid yang baru datang. Diliriknya
bangku sebelah. Amel belum datang. Wina sendiri tumben datang pagi.
Biasanya ia datang 5 menit sebelum bel, disaat kelas sudah padat akan
penduduk. Semalam Wina nggak bisa tidur. Entah kenapa bayangan Alex
selalu terbesit di benaknya. Apa benar Alex pindah sekolah? Kenapa harus
pindah? Peduli amat Alex mau pindah apa nggak, batin Wina. “Argggg…
Kenapa sih gue mikir dia terus?”
“Mikirin Alex maksud lo?” ucap Amel tiba-tiba udah ada disamping Wina.
“Nih hadiah dari pangeran lo.” Dilihatnya Amel mengeluarkan kotak biru
berukuran sedang. Karena penasaran dengan cepat Wina membuka kotak
tersebut. Isinya bingkai foto bermotif rainbow dengan foto Wina dan Alex
saat mengikuti MOS SMP didalamnya. Terdapat sebuah kertas. Dengan
segera dibacanya surat tersebut.
Dear wina,
Inget ga pertama kali kita
kenalan? Pas itu lo nangis gara-gara di hukum ama osis. Dalam hati gue
ketawa, kok ada sih cewek cengeng kayak gini? Hehe.. kidding. Lo dulu
pernah bilang pengen liat pelangi tapi ga pernah kesampaian. Semoga lo
seneng sama pelangi yang ada di bingkai foto. Mungkin gue ga bisa
nunjukin pelangi saat ini coz gue harus ikut ortu yang pindah tugas.
Tapi suatu hari nanti gue bakal nunjukin ke lo gimana indahnya pelangi.
Tunggu gue dua tahun lagi. Saat waktu itu tiba, ga ada alasan buat lo ga
mau jadi pacar gue.
“Kenapa lo nggak mau nerima dia? Gue tau lo suka Alex tapi lo nggak mau
nyakitin gue.” sejenak Amel tersenyum. “Percaya deh, sekarang gue udah
nggak ada rasa sama Alex. Dia cuma temen kecil gue dan nggak akan
lebih.”
“Thanks Mel. Lo emang sahabat terbaik gue.” ucap Wina tulus. “Tapi gue tetap pada prinsip gue.”
Amel terlihat menerawang. “Jujur, waktu gue tau Alex suka sama lo dan
cuma nganggep gue sebagai temen kecilnya. Gue pengen teriak sama semua
orang, kenapa dunia nggak adil sama gue. Tapi seiring berjalannya waktu
gue sadar kalo nggak semua yang kita inginkan adalah yang terbaik untuk
kita.” senyum kembali menghiasi wajah mungilnya. “Dan lo harus janji
sama gue kalo lo bakal jujur tentang persaan lo sama Alex. Janji?”
lanjut Amel sambil mengangkat jari kelingkingnya.
Ingin rasanya Wina menolak. Amel terlalu baik baginya. Dia sendiri tau
sampai saat ini Amel belum sepenuhnya melupakan Alex. Tapi Wina juga tak
ingin mengecewakan Amel. Berlahan diangkatnya jari kelingkingnya.
“Janji..” gumam Wina lirih.